<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5957484796438620653\x26blogName\x3dFEE+STORY\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://feestory.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://feestory.blogspot.com/\x26vt\x3d-85442414082640969', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

INSEPARABLE
Selasa, 01 Februari 2011









Prolog


Mata teduh dan bening itu menatapku lekat – lekat seakan meminta sebuah jawaban. Lidahku kelu dan kata seolah – olah memusuhiku saat itu juga. Aku terdiam, semua membisu. Mata teduh itu kini terpejam, tatapan yang kuterima terhempas jauh.  Mata teduh itu menatapku dalam tangis, lalu sebuah langkah kecil pun meninggalkanku dalam diam. Saat itu aku tahu, aku akan merindukannya.

***
Seratus push up mengawali hari Shun disemester baru ini. Dengan napas tersengal – sengal dan langkah yang terseok - seok dia bergegas menuju ruang musik. Sudah menjadi tradisi bagi Shun untuk datang terlambat disetiap awal semester. Sisa – sisa kesenangan sewaktu libur terbawa dan membuatnya melupakan kegiatan belajar untuk beberapa waktu.

“Nyuugaku1 yang buruk” batin Shun.

Dengan sedikit usaha dan bersilat lidah, akhirnya Shun dipersilahkan untuk mengikuti pelajaran musik yang sudah berlangsung selama setengah jam. Tas hitamnya yang mulai lusuh dihempaskan begitu saja dilantai sehingga meninggalkan dentuman yang keras. Mata – mata tak menyenangkan menatapnya dan seakan – akan menyuruhnya untuk diam. Shun tersenyum malu dan melangkah ke barisan paling belakang deretan paduan suara. Badannya yang berpeluh tampak menjulang diantara barisan siswa yang lain. Sejurus kemudian mulutnya tampak sedang berkomat – kamit melafalkan sebait lagu. Belum ada dua puluh menit, lonceng tua sekolah berdentang dengan kasar menjelajahi seluruh lorong kelas.

“Tolong hafalkan lagu itu dengan baik, terutama kamu” Bu Takishima mengarahkan telunjuknya yang lentik pada Shun “jangan seenaknya mengganti lirik. Pertemuan berikut harus sudah dihafalkan. Ini untuk pementasan kodomo no hi2 nanti”

Shun hanya tersenyum kecut mendengar perkataan gurunya itu. Mana sempat dia menghafalkan lirik lagu itu sementara dirinya selalu disibukkan dengan berbagai macam hal yang menurutnya lebih penting.

“Jadi ikut?” tanya Kikuri, seorang gadis manis berkuncir dua seketika.

“Mau kemana?” Shun balik bertanya.

“Ne~kau lupa” Kikuri berkacak pinggang lalu melanjutkan “ ingat tradisi kelas kita. Hanami3 di awal semester”

Shun menepuk jidatnya dan menghiasi wajahnya dengan cengiran yang sangat lebar setelah melihat wajah Kikuri yang ditekuk sangat dalam.

“Jangan salahkan orang yang pelupa ini” sambung Takeru dan duduk di sebuah kursi yang terdiam di depan piano cokelat.

Shun menghilangkan cengiran diwajahnya dan dengan segera melempar Takeru dengan sepatu putih yang tadi melekat dikaki kanannya. Takeru yang merupakan anggota ekstrakurikuler softball, dengan sangat mudah berhasil menangkap sepatu putih itu. Seketika itu pula air muka Takeru berubah menjadi jahil, tangannya menggoyang – goyangkan sepatu putih itu , seolah – olah ingin membuangnya keluar jendela. Shun yang melihat adegan itu dengan segera berlari ke arah Takeru, kejar mengejar pun terjadi. Kikuri yang sedari tadi berada diruang musik hanya bisa menggelengkan kepalanya.

***

Alunan musik mengalir indah dibawah lautan bunga sakura. Seluruh siswa kelas 6-3 tampak sangat menikmati Hanami. Tiga buah tikar biru langit terhampar santai dibawah dua deret pohon sakura yang sedang merekah. Obento4 dan sake5 terhidang tenang di salah satu tikar tersebut. Tepat dibawah pohon sakura, Kikuri  dan Takeru sedang asyik berkaraoke ria dengan beberapa siswa sementara Shun hanya berdiam diri memandangi mereka semua sambil tersenyum.

Angin berhembus sangat pelan menerbangkan helaian lembut sakura, disaat itu seorang gadis berseragam sekolah melintas di depan Shun. Shun tertegun dan terus memandang gadis berponi itu. Matanya mengikuti gerak langkah sang gadis.

“Dia . . .”

Gadis itu kini menghilang dari lautan sakura. Seakan tak ingin kehilangan sosok itu, Shun menggerakkan kakinya untuk berlari.

“Aku hanya ingin memastikan” lirihnya.

Langkah Shun terhenti melihat gadis itu berdiri di depan sebuah mobil porsche 912 yang berwarna merah terang. Tak ingin diketahui, Shun menyembunyikan tubuh jangkungnya dibalik sebuah warung mie ramen dan sesekali mencoba mengintip ke arah gadis itu.

“Ojousama5 sebaiknya pulang secepatnya” kata seorang wanita tua berkimono putih tulang.

“Aku tidak mau” kata gadis itu.

Seketika itu, seorang wanita berpenampilan sangat trendy dengan rambut blonde keluar dari dalam mobil.

“Sachi, ayo pulang” wanita itu berkata dengan lembut namun tangannya tampak mencengkeram kuat lengan gadis tersebut.

Wajah gadis itu berubah menjadi merah padam, entah merasa marah atau menahan sakitnya cengkeram wanita blonde itu. Dengan sedikit terpaksa gadis itu melangkahkan kakinya ke dalam mobil, sesaat sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam mobil, gadis yang dipanggil Sachi itu berkata tajam “Namaku bukan Sachi tapi Shuira”.

Shun terpaku ditempatnya berdiri mendengar perkataan gadis tadi. Kalimat terakhir yang dilontarkan gadis itu membuat seluruh tubuhnya membeku.

“Ternyata benar” lirih Shun seraya menatap mobil porsche merah itu yang kian menjauh.

***

Shun merasa beruntung tidak melewatkan Hanami tahun ini. Dia bisa melihat sosok gadis yang dicarinya selama ini. Pikiran Shun pun melayang entah kemana.

“Hoi, Kawashima”

Punggung Shun ditepuk oleh seorang pria berkimono abu - abu. Pria separuh baya itu adalah pemilik ryotei7 yang menjadi pelanggan setia Shun. Shun tersentak dan melihat pria itu, pria itu lalu menyodorkan beberapa lembar uang. Shun menerimanya sambil memberikan sekeranjang sayuran segar. Setelah transaksi tersebut, pria itu masuk ke dalam ryotei. Shun membungkuk sesaat dan mendorong sepedanya menjauh dari pintu ryotei. Seketika itu pula, sebuah mobil berhenti di depan ryotei.

“Porsche yang kemarin” lirih Shun.

Shun meminggirkan sepedanya dan memandang mobil tersebut. Shuira, gadis yang kemarin dilihatnya keluar dari dalam mobil tersebut bersama dengan wanita blonde yang juga dilihatnya kemarin.

“Ingat, namamu Sachi” kata wanita blonde dengan tegas.

Sesaat kemudian, ke dua orang tersebut masuk ke dalam ryotei sementara mobil porsche merah terang itu meninggalkan mereka.

“Untuk apa dia disini?” desis Shun.

Sejam berlalu, Shun masih tampak duduk dipinggir jalan menunggu Shuira dan wanita blonde tadi. Teriknya mentari yang menembus ke kulitnya tak lagi dia pedulikan. Yang ada dipikirannya saat ini adalah ingin memastikan sesuatu yang masih terkoyak dikepalanya.

Mobil porsche merah terang berhenti di depan ryotei, Shuira dan wanita blonde  keluar dari dalam ryotei dan masuk ke dalam mobil tersebut. Shun dengan sigap berdiri dan mengayuh sepedanya mengikuti jejak mobil tersebut.

Setengah jam kemudian, mobil itu masuk ke sebuah rumah megah yang kelilingi oleh pagar beton. Shun menghentikan sepedanya dan membaca papan nama yang tertera di pagar tersebut.

“Shuisaki . . tidak salah lagi”

Shun tersenyum lalu mengayuh sepedanya dengan cepat menuju rumah.

“Aku pulang” teriak Shun memasuki rumahnya.

Seorang wanita tersenyum menyambut kedatangan Shun. Shun mencium kening wanita tersebut lalu berkata “hari ini ibu masak apa?hmmmm . . .baunya seperti kare”

Shun dengan segera melangkahkan kakinya menuju ruang makan. Wanita yang dipanggilnya ibu hanya tersenyum dan mengikuti langkah Shun. Ruang makan terletak tidak jauh dari pintu depan rumah. Sebuah meja dan dua buah kursi tertata rapi menghadap ke arah sebuah televisi berukuran 14 inch. Meja makan  yang terbuat dari kayu mahoni itu tampak membisu dengan caranya sendiri namun seakan memanggil penghuni rumah untuk mendekatinya. Meja makan itu tampak elegan meskipun tanpa balutan sebuah taplak meja. Dua buah mangkuk kecil yang telah terisi nasi serta kare terhidang cantik di atasnya. Sesederhana itu makan malam di rumah ini, namun penghuninya tersenyum sambil memanjatkan syukur kepada Pemberi Berkah atas apa yang mereka peroleh. Semenit kemudian, mereka tampak sedang menikmati kare yang terhidang di meja makan.

Shun tampak menikmati makanannya sambil sesekali melirik ibunya dan seakan ingin mengatakan sesuatu.

“Ada apa?” tanya ibunya tiba – tiba.

Shun memandang kuah karenya dengan lekat, mencoba menghindar dari tatapan lembut ibunya.

“Shuira lagi?”

Shun sudah menduganya, tidak ada satu hal pun yang akan luput dari pengamatan ibunya. Pikirannya masih berperang, dia ingin menceritakan apa yang dilihatnya hari ini dan kemarin. Tapi, jauh dilubuk hatinya dia merasa ini bukanlah saat yang tepat.

“Shun? Sudah lima tahun sejak . .”

“Bukan soal Shuira” potong Shun tiba – tiba. Dia tidak ingin melihat ibunya menangis karena hal ini lagi. Shun mengelus tangan ibunya yang tampak bergetar dan berkata lirih “bukan tentang dia”.

Kalimat itu dibiarkan menggantung indah di udara oleh Shun, dia semakin yakin belum waktunya menceritakan kejadian yang dilihatnya.

Sementara itu dikediaman Shuisaki, Shuira tampak menangis memegang pipinya yang kemerahan.

“Aku ingin kembali,Shun”

***

Seminggu telah berlalu dan selama itu pula, Shun selalu mengikuti langkah Shuira. Dia ingin merekam wajah bahagia milik Shuira sebanyak mungkin dikepalanya. Saat ada waktu senggang, Shun selalu berusaha untuk mencari keberadaan Shuira. Sama seperti hari ini setelah latihan rutin basket di sekolahnya, Shun bergegas mencari Shuira. Dewi keberuntungan ternyata berpihak pada Shun, karena tak butuh waktu lama Shun telah menemukan Shuira yang sedang asyik menikmati ice cream bersama ke dua temannya di sebuah taman.

“Dia tertawa” lirih Shun.

Shun terus menatap Shuira dari sebuah bangku taman dengan topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Dia berharap dengan penampilannya, Shuira tidak akan mengenalinya. Ya, Shuira memang tidak dapat mengenalinya secara langsung namun seseorang bisa.

 “Shun !!!” sebuah suara menggetarkan Shun dan membuatnya merapatkan topi hitamnya. Kepalanya yang terbungkus topi itu dibenamkan dengan sangat dalam ke arah dada bidangnya.

Sebuah langkah terpatri diantara debu pasir di taman. Langkah kaki yang panjang dan cekatan itu mengarah lurus pada Shun. Sebuah gerakan kecil dari pemilik langkah panjang itu, yang tidak lain adalah Kikuri, membuat topi hitam Shun terhempas.

Sementara itu, Shuira yang sempat mendengar teriakan Kikuri menggumamkan sebuah nama dari sela – sela bibirnya.

“Ada apa Sachi?”tanya salah seorang temannya.

Shuira hanya menggelengkan kepalanya dan membiarkan matanya menjelajahi taman. Kini matanya tertuju pada seorang anak laki – laki yang sedang berdebat dengan seorang anak perempuan. Mata Shuira yang sipit membulat lebar. Lelehan ice cream ditangannya tidak lagi ia pedulikan. Kakinya melangkah perlahan menuju ke dua orang tersebut.

“Shun ?”

Kikuri dan Shun yang sedang berdebat menatap Shuira secara bersamaan. Jantung Shun bedegup sangat cepat menatap mata Shuira yang mulai berkaca – kaca.

“Shun ?”kata Shuira sekali lagi.

Pipi Shuira kini basah oleh butiran lembut airmata. Meskipun begitu dia tidak mencoba untuk menghapusnya.
Shun mencoba memalingkan wajahnya.

“Dia me-menangis?”kata Kikuri heran.

Kebisuan menyapa mereka bertiga. Kikuri yang tidak tahan melihat adegan itu mencoba memberikan sebuah isyarat pada Shun. Namun, Shun hanya terdiam di tempatnya duduk dan Shuira tetap menangis.

“Ayo pulang” suara lembut dan tajam seorang wanita menghentikan kebisuan tersebut.

Seketika itu sebuah tangan kurus dan putih menarik tangan Shuira. Seakan terhipnotis dengan pemilik tangan itu, Shuira menjauh dari hadapan Shun. Kakinya melangkah ke sebuah mobil porsche merah sementara kepalanya mencoba mengarah kepada Shun.

“Dia pergi” kata Kikuri dengan nada aneh.

Shun menatap ke arah Shuira, tepat saat itu Shuira meringis dan menggerakkan bibirnya membentuk sebuah untaian kata yang tak terdengar lafalnya. Shun menata kembali pikirannya yang telah terpecah dan terus menatap mobil porsche merah yang perlahan menghilang dari hadapannya.

“Siapa dia?” tanya Kikuri

“. . .”

“Shuira?” tanya Kikuri sekali lagi.

Shun merasa pikirannya telah terbaca oleh ibunya dan sahabatnya sendiri. Kikuri dengan sangat tepat bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Kikuri mencoba duduk disamping Shun yang tampak sendu seperti langit sore yang menjadi latar taman itu.

“Dia tadi ada dihadapanku” kata Shun tiba – tiba.

Dengan tatapan iba seorang sahabat, Kikuri mengusap lembut punggung Shun dan berharap bisa mengalirkan semangat pada Shun.

Shun meremas topi hitamnya dengan kuat lalu melanjutkan perkataannya “dan dia menangis”

***

Malam menjemput dengan angin yang berdesir pelan. Shun dan Shuira tampak bekutat dengan pemikiran masing – masing.

Shun termangu di meja belajarnya sambil menatap sebingkai foto berukuran 4R. Sementara Shuira berbaring di tempat tidurnya dan memegang sebuah foto lusuh. Banyak tanya yang membuncah di kepala mereka, semua itu karena kejadian sore tadi. Mereka menghela napas dan mengucapkan sebuah nama dalam tangis. Kenangan lima tahun yang lalu berputar cepat menyapa relung hati dan jiwa mereka. Kenangan indah yang berakhir dengan perpisahan.

***

“Yakin?” tanya Kikuri sekali lagi melihat Shun yang sedang membetulkan rantai sepedanya.

Shun hanya mengangguk perlahan dan tetap berkonsentrasi pada apa yang dikerjakannya. Tangannya dengan lihai mengencangkan rantai sepeda.

“Sekarang atau tidak sama sekali” kata Shun sambil tersenyum lalu menaiki sepedanya. Dia tahu maksud dari pertanyaan sahabatnya itu, sebuah kecemasan. Mungkin memang dia belum memiliki kesiapan yang cukup namun jika dia tidak melakukan hal itu dengan segera maka bisa dipastikan Shuira akan menghilang lagi dari hidupnya.

Beberapa menit kemudian dering nyaring sepeda tua Shun terdengar indah meninggalkan Kikuri dengan senyuman kecil. Kikuri merasa cemas namun dia tahu watak sahabatnya itu, sekali dia berkata pasti akan dia lakukan. Dan itu yang terjadi hari ini. Kikuri tahu benar kalau keadaan saat ini sungguh sangat tidak memungkinkan untuk melakukan menjemput Shuira, namun dia tidak dapat berkata apa – apa lagi setelah melihat keyakinan yang terpancar dari mata Shun.

Tak beberapa lama kemudian, sepeda tua Shun berhenti di depan sekolah khusus putri yang terkenal di Jepang. Matanya dengan lihai mencoba mencari sosok Shuira diantara lautan para siswi berseragam biru laut. Tak butuh waktu lama untuk menemukan sosok Shuira yang berambut kuning emas. Shun kemudian menarik napas panjang dan mengayuh sepedanya ke arah Shuira.

Shuira terpaku melihat kehadiran Shun yang tiba – tiba itu. Mata sipitnya yang bening mengeluarkan sebutir airmata.

“Jangan menangis lagi” kata Shun tajam.

Shuira tersenyum lalu menghapus airmatanya. Shun menggerakkan kepalanya menjadi sebuah isyarat untuk Shuira agar duduk diboncengan sepeda. Shuira mematuhinya dengan baik.

“Kita pergi sebentar, aku mau bicara. Bisa kan?” kata Shun sebelum mengayuh sepedanya.

“Bisa,tapi harus cepat karena aku dijemput sekitar jam lima” kata Shuira seolah bisa membaca kecemasan dari kata – kata yang dilontarkan Shun.

Tanpa bicara lagi, Shun mengayuh pedal sepedanya dengan perlahan. Sepuluh menit berlalu, Shun tampak kesusahan mengayuh.

“Dia semakin berat” batin Shun.

Sederet pohon sakura yang masih mekar tampak indah menghiasi badan jalan. Angin lembut meniup helai demi helai sakura yang kemudian menghujani perjalanan Shun dan Shuira. Shuira menikmati hal itu dan berharap hal tersebut akan tetap seperti itu. Sampai tiba – tiba suara bariton Shun mengagetkannya.

Mereka telah sampai di sebuah tempat yang tertutupi jajaran pohon sakura. Shuira turun perlahan dari sepeda milik Shun dan melihat sebuah taman bermain untuk anak TK yang tampak indah dibalik jajaran pohon sakura tersebut. Matanya berkaca – kaca sekali lagi. Tangannya yang kurus ditangkupkan di depan bibirnya yang kemerahan. Raut wajahnya tampak berseri namun menyimpan setitik kesedihan. Mereka berada ditempat yang menyimpan banyak cerita tentang mereka berdua.

“Sudah kubilang jangan menangis”

Shuira menarik napas dengan kuat, mencoba mengumpulkan kembali tenaga dan senyuman diwajahnya. Shun menyandarkan sepeda tua hitamnya disalah satu pohon sakura di depan taman bermain itu.

Mereka berdua kini berdiri memandangi anak – anak kecil yang sedang bermain di perosotan plastik di taman bermain itu.

“Seperti kita waktu itu” kata Shuira.

Shun mengangguk lalu berkata “Bagaimana keadaanmu?”

Shuira hanya tersenyum dan memandang Shun. Shun meliriknya sekilas dan merasa ada sesuatu yang aneh disenyuman itu.

“Kamu, sepertinya baik – baik saja” kata Shun pada akhirnya.

Shuira kemudian duduk di depan bak pasir taman bermain itu. Shun mengikutinya dengan perlahan.

“Lima tahun, harusnya aku membencimu sebagai . .”

“Maaf”kata Shun seketika.

Mereka berdua terdiam dan mengingat kembali kejadian yang terjadi lima tahun yang lalu. Shun merasa bersalah tidak dapat menjaga Shuira dengan baik. Kenyataan dan pahitnya kehidupan yang membuat semua itu bisa terjadi. Dan hal itulah yang kini membuat Shun bersikap dingin, dia malu pada Shuira.

“Bagaimana kabar ibu?” tanya Shuira.

“Baik”

“Hmm, terus apa yang mau kamu bicarakan?”

Shun memperbaiki posisi duduknya mengarah ke Shuira lalu berkata “ayo pulang”. Tak dapat dipungkiri sebuah getaran juga ikut terdengar dari ucapan tersebut. Shuira menatap mata Shun dengan lekat. Hati dan pikirannya ingin berkata iya, namun bibirnya tak mampu mengucapkan apapun. Dia tahu pasti bahwa Shun juga sadar bahwa Shuira ingin ikut dengannya, namun terkadang kata tidak dapat diwujudkan dengan mudah. 
Shuira hanya menatap Shun dalam diam, begitu pun sebaliknya.

Tiba – tiba sebuah sentakan dari tangan kurus dan putih menghentikan adegan itu. Shuira terjatuh ke dalam bak pasir sementara Shun terduduk dengan tangan yang siaga di tanah sambil menahan berat badannya yang hampir terjatuh.

“Wanita blonde itu lagi” batin Shun menatap wanita yang bekacak pinggang dihadapannya.

Tangan kurus wanita itu menarik Shuira berdiri dengan kasar.

“Sakit Tante” kata Shuira.

“Oh tahu sakit juga kamu ya !! Ngapain disini !” bentak wanita itu.

Shuira mengelus tangannya yang memerah lalu menatap Shun yang berdiri dan membersihkan jaket semi kulitnya yang berwarna cokelat tua.

“A-anak ini” kata wanita blonde itu sambil menunjuk Shun.

Shun menatap wanita itu seketika dan untuk pertama kalinya dia dapat melihat wanita itu dengan jarak yang sangat dekat. Wajah wanita itu terlihat pucat dengan warna seputih susu dan dibawah matanya terdapat bekas sebuah goresan kecil yang terpatri secara horizontal. Shun mengenal bekas goresan dan wajah wanita itu. Rambut blonde serta penampilan wanita itu yang telah berubah membuat Shun tidak menyadarinya selama ini.

“Ngapain kamu disini !”bentak wanita itu sambil mendorong Shun.

“Hentikan” Shuira menarik tangan wanita itu.

Wanita itu menatap Shuira dengan tajam dan menarik Shuira ke sampingnya, lalu melangkah perlahan ke hadapan Shun.

“Ingat perjanjian kita ?!”

Wanita itu menatap Shun dari atas ke bawah dengan pandangan jijik lalu melanjutkan “dan kurasa kamu belum siap untuk saat ini”

Wanita itu menarik Shuira dengan paksa masuk ke dalam mobil. Shuira hanya mematuhinya karena dia tahu jika dia melawan maka hal buruk akan menimpa orang yang dia sayangi.

Shun terdiam ditempatnya berdiri dan mengingat kembali kalimat yang diucapkan wanita itu, seolah – olah hal tersebut merupakan sebuah rekaman kaset yang diputar kembali ditelinganya.

“Lima tahun dan kamu belum siap? Dia akan disini seminggu lagi, kalau kamu dan ibumu yang malang itu masih ingin melihatnya lagi, patuhi perjanjian kita” kata wanita blonde itu lalu masuk ke dalam mobil.

***

Shun duduk di taman belakang sekolahnya ditemani Takeru dan Kikuri. Wajahnya tampak cemas dan tegang kontras dengan wajah Kikuri yang tampak memerah menahan amarah.

“Bisa tidak kamu tenang sedikit !” kata Takeru yang tampak pusing melihat Kikuri mondar mandir.

Shun hanya menghela napas dan membenamkan wajahnya diantara ke dua tangannya yang besar.

“Bagaimana caranya supaya kita bisa dapetin uang sebanyak itu dalam waktu satu minggu” gumam Kikuri sambil duduk disebelah Takeru.

Shun lalu mendengus kesal dan berjalan meninggalkan kedua sahabatnya. Kikuri mencoba menahan Shun namun Takeru terlebih dahulu telah menarik tangan Kikuri agar tidak melakukan hal yang diinginkannya.

“Lepasin” kata Kikuri sambil menghempaskan tangan Takeru.

“Biarkan Shun tenang dulu. Untuk saat ini melihat Shuira masih berada ditangan wanita lintah darat itu sudah cukup menyakitkannya. Kamu pahamkan?” kata Takeru lembut.

Kikuri terdiam, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Takeru barusan. Sebuah anggukan kecil pun dia lakukan dan duduk disamping Takeru sambil mengacak rambutnya yang hitam legam.

***

Lima hari telah berlalu dan Shun semakin sibuk bekerja untuk mengumpulkan uang dan menebus Shuira. Kata – kata wanita blonde itu yang tidak lain adalah Kagome Shuisaki, lima tahun yang lalu semakin membayanginya.

“Bawa uang sebanyak ini” sebuah cek bertuliskan angka fantastis membuat Shun terpaksa mundur, lima tahun yang lalu.

Kini Shun selalu keluar dari rumahnya dipagi buta dan pulang saat malam semakin larut. Tangannya yang besar semakin kasar dan meninggalkan bekas luka lecet disana sini. Kulitnya yang coklat tampak semakin kelam, bukti bahwa dirinya terlalu sering berjemur di bawah teriknya mentari. Semua itu dia lakukan demi Shuira. Tidak ada hal lain yang dia pikirkan selain mendapatkan uang sebanyak mungkin demi mendapatkan Shuira kembali.

Takeru dan Kikuri merasa iba melihat pengorbanan Shun. Mereka mencoba membantu sahabat kecil mereka yang sedang kesusahan tersebut dengan cara yang menurut mereka terbaik. Mereka tahu jika mereka menawarkan bantuan secara langsung maka Shun pasti akan menolaknya dengan tegas bahkan jika bantuan tersebut memang sangat dia butuhkan.

Kediaman Kawashima , malam hari . . .

Shun membuka pintu rumahnya dengan perlahan karena tak ingin ibunya terbangun. Sambil berjinjit dia melangkah ke arah dapur untuk mencari makanan.

“Hampir seminggu kamu pulang jam segini”

Shun kaget melihat ibunya yang telah duduk di meja makan. Shun menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal dan berjalan mendekati ibunya. Sebuah kecupan hangat dia berikan dikening ibunya. Ibu Shun hanya menatap Shun dengan tatapan curiga dan menunggu Shun berbicara.

“Shun kerja” kata Shun seketika.

Shun berusaha bersikap sewajar mungkin sambil memakan makanan yang telah terhidang dihadapannya. Ibu Shun hanya tersenyum iba sambil menyodorkan sebuah amplop. Shun menghentikan kegiatannya sejenak lalu mengambil amplop tersebut dengan tatapan terkejut.

“Apa ini?”

“Dari sahabatmu. Mereka sudah cerita semuanya ke Ibu dan mungkin ini bisa membantumu untuk menyelamatkan. . .” Ibu Shun berusaha sekuat tenaga menahan gejolak didadanya saat mengatakan “Shuira”
Shun terkejut mendengar perkataan ibunya. Tangannya dengan cekatan merobek amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Beberapa uang kertas tampak mencuat dari amplop tersebut.

Seakan tahu apa yang ada dipikiran anaknya, Ibu Shun meraih tangan Shun yang tampak gemetaran lalu berkata lembut “Ambil uang ini dan bawa Shuira kembali secepatnya kalau memang itu maumu. Ibu . . “ helaan napas panjang dihembuskan oleh Ibu Shun “akan menerima kehadirannya” lanjutnya.

Mata Shun berkaca – kaca mendengar perkataan Ibunya. Dia tahu menerima Shuira dirumah ini adalah keputusan yang sangat berat untuk Ibunya, namun dia juga yakin apa yang telah terjadi di masa lalu bukanlah kesalahan Shuira. Demi Shuira, keegoisannya untuk menolak bantuan orang lain pun ditepis.

“Demi Shuira”batinnya.

***

Keesokan harinya Shun dengan segera pergi ke kediaman Shuisaki untuk menyelamatkan Shuira. Dadanya bergemuruh saat melihat Kagome Shuisaki menuruni tangga dengan angkuh. Matanya yang coklat muda mencoba mencari kehadiran Shuira.

“Dimana dia?” kata Shun tidak sabar.

“Uangnya dulu” kata Kagome tanpa mempedulikan perkataan Shun.

Shun menahan amarahnya yang ingin membuncah sambil menyerahkan amplop putih lusuh yang dipegangnya sedari tadi. Kagome menerima amplop itu dengan senyuman sinis lalu mencoba menghitung uang yang ada di amplop tersebut.

“Well, ini pas untuk membayar semua hutang Ayah dari anak itu”

“Dimana Shuira?” kata Shun semakin tidak sabar.

“Anak itu, sudah ada ditempat seharusnya dia berada dan sepertinya dia akan senang” kata Kagome sambil tertawa meninggalkan Shun.

Kemarahan di dada Shun akhirnya membuncah, dia berlari dengan kencang ke arah Kagome lalu langsung menamparnya hingga terjatuh di lantai marmer. Kagome memegang pipinya yang kemerahan dan menatap Shun dengan tajam.

“Kau !!! Dimana Shuira !!” teriak Shun

Kagome hanya terdiam dan terus menatap Shun. Dia tidak ingin Shun menghancurkan semua rencananya.
Shun yang melihat Kagome tidak bereaksi menjadi semakin marah, dan kemudian menarik rambut blonde Kagome dengan kasar lalu mengulangi pertanyaannya. Kagome terus mencoba bertahan dan Shun pun semakin memperkuat siksaannya. Kagome semakin tidak tahan dengan perlakuan Shun. Dia pun menyerah dan berkata “di ryotei milik Tuan Tokio”

Shun mendengus kesal dan dengan segera meninggalkan rumah megah milik Kagome. Untuk kali ini dia tidak bisa menahan semuanya lagi. Langkahnya semakin mantap menuju ryotei Tokio.

Dalam perjalanan menuju ryotei milik Tokio, yang tidak lain adalah pria berkimono abu – abu, pikiran Shun semakin kacau. Dia tahu bahwa pria itu suka memperlakukan seorang wanita seenaknya dan dia takut hal itu akan dilakukannya kepada Shuira. Shun pun semakin mempercepat kayuhannya dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya dia sampai di ryotei tersebut.

Dengan perasaan berkecamuk Shun mendobrak pintu ryotei. Para pelayan yang sedang bekerja serta tamu yang berada di ryotei tersebut tampak terkejut melihat kedatangan yang tidak diinginkan tersebut. Shun dengan kasar menarik salah seorang pelayan wanita berkimono hijau lalu menanyakan keberadaan Tokio. Dengan wajah pucat pasi, pelayan tersebut menunjuk ke sebuah ruangan.

Shun berjalan dengan cepat ke arah ruangan tersebut. Lima tahun yang lalu dia hanya seorang anak ingusan yang takut akan segala hal. Tapi saat ini, dia adalah seorang pria dewasa yang siap menanggung resiko apapun, dia tidak takut melawan Kagome bahkan Tokio sekali pun.

Sebuah tendangan dari kaki kanannya kemudian menghancurkan pintu geser berlukiskan bulan purnama. Pintu tersebut terkoyak hancur di atas sebuah tatami8 coklat tua. Di dalam ruangan tersebut tampak Shuira yang menangis dengan pakaian dan rambut acak – acakan.

Tokio yang terkejut segera berdiri dari tempatnya duduk di samping Shuira.

“Kawashima !! Apa – apain ini ?!” bentak Tokio.

Shun lalu melangkah ke arah Shuira, menyelimutinya dengan jaket yang dikenakannya, dan menarik Shuira ke luar dari ruangan tersebut tanpa mempedulikan Tokio.

“HEI !!” teriak Tokio mencoba menghentikan Shun.

Shun menghentikan langkahnya lalu menatap Tokio dengan bengis. Dia melepaskan genggaman tangannya dari Shuira lalu masuk ke ruangan tersebut dan menarik sebuah katana9 yang terpajang di dinding ruangan tersebut. Katana tersebut dia arahkan pada Tokio. Tokio berlutut karena merasa takut lalu berkata “O-o-oke kau boleh pergi”

***

“Shun” kata Shuira lembut sambil menggenggam tangan Shun yang masih gemetar.

Mereka kini duduk berdua di depan sebuah danau yang terbingkai senja memerah. Danau ini adalah tempat favorit Shun sejak kecil. Setiap ada masalah, kakinya secara otomatis melangkah ke tempat ini. Saat Shuira berbicara Shun seakan tersadar bahwa dia tidak sendirian di tempat tersebut, kemudian dia  tersenyum dan memeluk Shuira. Shuira merasa bahagia berada di dalam pelukan Shun, dia merasakan kehangatan yang selama ini dia rindukan.

“A-aku boleh pulang dan . .”

“memanggilku kakak. Ibu sudah menunggu kita” sambung Shun dengan cepat sambil menatap wajah Shuira yang terperangah.

Shuira tersenyum, mimpinya selama ini untuk diakui anak oleh ibu tirinya telah menyapanya.

Masih jelas diingatannya, beberapa tahun yang lalu saat Ibu dan Ayahnya meninggal, dia sempat hidup bersama Shun dan Ibunya. Meskipun begitu, Shuira tidak pernah dianggap bahkan berusaha diusir oleh Ibu Shun. Shuira mengerti perasaan Ibu Shun yang harus menerima kehadiran anak dari seorang wanita yang telah merusak kehidupannya. Tapi, itu pilihan terakhir yang dimiliki Shuira, tinggal di rumah keluarga Kawashima karena Shuira tidak memiliki siapa – siapa lagi dan dia masih kecil.

Dari sekian banyak orang yang telah dia temui dan mengetahui statusnya sebagai anak haram, hanya Shunlah yang menerimanya dan tidak pernah menganggapnya kotor. Hal itulah yang membuat Shuira sangat menyayangi Shun. Dia telah menganggap Shun sebagai kakak, pelindung, bahkan sosok seorang Ayah yang telah hilang dari kehidupannya selamanya.

Kini, Shuira kembali merasakan kenyamanan berada dalam pelukan Shun. Pelukan tersebut  menghilangkan perasaan sakit yang dialaminya selama lima tahun belakangan ini. Kejadian dimana dia harus hidup sengsara di bawah tekanan Kagome Shuisaki demi melunasi hutang Ayahnya selama ini. Dia harus siap pindah ke luar negeri demi menjauhi Shun dan melayani semua pejabat penting yang menjadi pelanggan Kagome. Di dalam hatinya yang terdalam dia selalu berharap agar bertemu dengan Shun karena Shun telah berjanji akan menyelamatinya. Meskipun janji itu diucapkan saat Shun masih sangat belia, tapi sebuah keyakinan dari palung hati Shuira mengatakan bahwa janji itu akan ditepati.

Dan hal itu kini telah dibuktikan. Shun yang telah dewasa muncul dihadapannya dan menariknya keluar dari kegelapan yang terus menghantuinya. Shun yang ada dihadapannya saat ini adalah Shun yang berbeda. Dia berani melawan Kagome bahkan Tokio dengan yakin. Tidak seperti lima tahun yang lalu, dimana Shun hanya bisa terdiam memandangi Shuira yang menangis memohon pertolongan.

Disaat seperti ini, keyakinan dan kepercayaan Shuira semakin kuat. Dia percaya dan yakin bahwa ikatan persaudaraan memang tidak dapat dipisahkan. Lima tahun hanya merupakan waktu istirahat untuknya dan Shun agar bersatu kembali.


Epilog

Tawa kembali membuncah diantara guguran sakura. Seorang pria tampak tersenyum bahagia sambil berkaraoke ria bersama dua orang wanita. Pria tersebut kemudian mencium kening ke dua wanita tersebut lalu berkata “Aku sayang kalian dan akan melindungi kalian, Ibu . . Shuira”

The end





Penjelasan :

  1. 1.     Nyuugaku merupakan sebutan untuk menyatakan awal masuk sekolah di Jepang.
  2. 2.    Kodomo no hi merupakan hari anak nasional di Jepang yang biasanya dirayakan pada tanggal 5 Mei. Pada hari itu di setiap rumah (yang mempunyai anak-anak) dikibarkan koinobori (bendera berbentuk ikan koi) dan di dalam rumah dipasang hiasan topi baja dan boneka samurai, serta disajikan chimaki dan kashiwamochi.
  3. 3.    Hanami merupakan kegiatan melihat bunga sakura. Karena bunga sakura merupakan bunga khas negara Jepang, dengan hanya mengatakan Hanami saja, semua orang akan langsung tahu bahwa yang dilihat pastilah bunga sakura.
  4. 4.    Obento atau bento merupakan bekal makanan berupa nasi berikut lauk pauk dengan kemasan praktis dan bisa dibawa kemana saja. Ciri khasnya adalah pengaturan jenis lauk dan warna sehingga sedap dipandang mata.
  5. 5.    Ojousama merupakan panggilan untuk seorang wanita muda yang dihormati, panggilan ini biasa digunakan oleh seorang pelayan kepada majikannya.
  6. 6.    Sake atau yang biasa disebut dengan anggur beras merupakan minuman beralkohol yang berasal dari fermentasi beras. Di Jepang, sake berarti minuman beralkohol tetapi dibeberapa perfektur di Jepang, sake merujuk ke pengertian yang berbeda.
  7. 7.    Ryotei adalah rumah makan tradisional Jepang yang menyajikan masakan Jepang untuk tamu kelas atas.
  8. 8.    Tatami adalah semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional.
  9. 9.    Katana adalah pedang panjang Jepang dengan satu mata dan melengkung khusus yang secara tradisi digunakan oleh samurai Jepang.


LOVELY CANDY LIST (just click the tittle) :

Label: ,

XOXO;
06.59

profile

Hello, I'm Fee [read : Fe], an ordinary girl in extraordinary life :) I currently move to my sunny blog
Click it





Friends

  • Wind starshinee
  • Eka-Penyair Timur
  • Qchan
  • Inna
  • Inchen
  • Selly
  • Flow
  • Lady Queela
  • Ifa
  • Intan
  • Gabaritangles
  • Presticilla
  • Qonita
  • Death-a
  • Shafira Noor Latifah
  • Aul
  • Indy


    Favourite

    I almost see and keep reading to this great blogs :)
  • Anak Perempuan dan Ayahnya
  • Perempuan Sore
  • Lala Bohang [writing]
  • Lala Bohang [drawing]
  • Hana Tajima Simpson
  • Raditya Dika
  • Richard
  • Damarisasi-7th July accoustic
  • 30Hari Menulis Surat Cinta


    credits

    picture design: deviant art
    skin: camisado
    brushes: echoica