<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5957484796438620653\x26blogName\x3dFEE+STORY\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://feestory.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://feestory.blogspot.com/\x26vt\x3d-85442414082640969', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

DRACULA DOES NOT EXIST
Selasa, 08 Februari 2011



Prolog

Tawa dan keharuan membuncah diantara sepasang pasangan yang saling mengucap janji. Kue tart setinggi satu setengah meter menjulang indah bagaikan sebuah istana kecil. Pengantin wanita tampak tersenyum bahagia berbicara dengan para tamu sambil menyematkan lengan kecilnya pada  pasangannya yang tampan dan berambut putih perak.

Satu persatu tamu disapa dengan hangat. Bahagia tampak merekah dirona pipinya yang terpoles blush on baby pink. Sang pengantin pria tampak tersenyum dan sesekali memberikan sentuhan hangat pada pasangannya menampakkan kebahagiaan yang tersemai.

Tak jauh dari mereka, seorang wanita paruh baya berdiri dengan tongkat kayu eldernya tampak menatap mereka dengan tajam. Wanita tersebut mengenakan gaun berbahan katun yang berwarna dominan hitam dan mengelung rambut pirang keemasannya dengan rapi. Beberapa saat kemudian wanita itu  menggumamkan sesuatu dan berjalan ke arah pasangan pengantin.

“Kalian tidak seharusnya menikah” kata wanita paruh baya itu.

Pengantin wanita meringis memegang tangannya yang dicengkeram kuat. Melihat hal itu pengantin pria menepis kuat tangan wanita paruh baya tersebut.

“Delia, hentikan permainanmu itu. Aku tidak akan mempercayaimu” bentak pengantin wanita seraya mendorong wanita paruh baya tersebut.

Merasakan penolakan yang besar dari para tamu dan pasangan pengantin, wanita paruh baya yang dipanggil Delia tersebut melangkahkan kakinya meninggalkan wedding party tersebut.

“Kamu akan mendapat kutukan Athea, aku ibumu” desis wanita itu saat berada di depan gedung.

***
Seorang gadis berlari diantara pepohonan pinus yang menjulang indah mengelilingi danau Saphire. Tubuhnya sesekali dibungkukkan dan tangannya mencari – cari sesuatu diantara rerumputan.

“Ini rusak” gumam gadis itu seraya membuang sebuah cone pinus.

Gadis tersebut melanjutkan lari – lari kecilnya disekitar danau dan kemudian tersenyum saat melihat dua buah cone pinus yang tampak sempurna. Sejurus kemudian, tangan putihnya menampakkan duah buah cone pinus pada sepasang suami isteri.

“Rhea, ini buat Ibu?” tanya wanita tersebut.

“Iya, dan ini . .” gadis yang dipanggil Rhea tersebut menyerahkan salah satu cone pinus dan kemudian berkata ”untuk Ayah”

Pria berambut putih perak yang dipanggil Ayah tersebut pun tersenyum. Dia menatap anak gadisnya yang kini telah menginjak umur 20 tahun dengan iba. Sebuah foto lusuh yang didapatinya beberapa minggu yang lalu membuatnya merasakan ketakutan yang aneh. Matanya yang berwarna abu – abu cerah kini mengarah pada wanita yang menjadi isterinya selama 23 tahun terakhir dengan cemas. Wanita yang duduk disebelahnya balik menatapnya dengan hangat lalu tersenyum. Kecemasan yang dirasakan pria itu pun mulai memudar. Ke dua tangannya yang kekar seketika memeluk ke dua wanita yang dikasihinya itu.

“Semoga kecemasanku tidak akan terbukti” batinnya.

***

Rhea terpaku menatap salad yang terhidang dihadapannya. Tangannya yang memegang garpu digoyang – goyangkan begitu saja dipiring putih yang berisi salad tersebut.

“Rhe . . . ck, ingat kata Ibumu, makan sayur !” kata seorang gadis berkulit hitam yang duduk dihadapannya.

Gadis tersebut bernama Melville Barker, sahabat Rhea sejak kecil. Dia adalah satu – satunya orang yang dipercayai oleh Athea-Ibu Rhea- dengan sepenuh hati untuk menjaga Rhea. Melville dan Rhea bagaikan bidak catur yang berbeda warna.  Rhea berkulit putih mulus dengan rambut yang berwarna kuning emas, mata berwarna abu – abu cerah, dan bertubuh langsing yang seakan rapuh. Sementara Melville adalah seorang gadis berkulit hitam dengan rambut yang berwarna cokelat tua dan direbonding sehingga tampak lurus kaku serta berbadan cukup besar dengan otot yang sesekali tampak mencuat. Tak heran mengapa Melville selalu disebut sebagai pengawal pribadi Rhea ketimbang disebut sebagai sahabat.

“Aku tidak mau” kata Rhea lalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang rapuh.

Melville terus memaksa menyuap Rhea dengan segarpu salad, namun Rhea dengan berbagai cara terus berkelit. Akhirnya Melville pasrah dan meletakkan begitu saja garpu yang dipegangnya.

“Aku kesana sebentar” kata Rhea tiba – tiba sambil menunjuk ke arah tempat pemesanan makanan di kantin kampus.

Melville menggelengkan kepalanya dan terus menatap Rhea. Mulutnya seperti ingin meneriakkan sesuatu saat Rhea membawa nampan yang berisi daging sapi asap. Rhea hanya menyengir sebentar dan mulai menyantap makanannya.

“Rhe, kamu ini sudah dilarang makan daging masih saja melawan. Sayurnya jangan lupa”

Melville menyodorkan salad yang tadi tak disentuh sama sekali oleh Rhea. Rhea menggelengkan kepala dan mencoba mengunyah daging sapi asap yang telah masuk dimulutnya dengan cepat lalu berkata” Aku benci sayur dan kamu  Mel harusnya mengerti. Jangan ikut – ikutan Ibu yang hobi menasehatiku”

“Rhe, aku dan Ibumu peduli dengan kesehatanmu. Wajahmu pucat seperti vampir ah tidak drakula”

“Biarkan saja” kata Rhea asal.

“Ah ya . . . kamu sudah dengar berita lokal tadi pagi?” melihat wajah Rhea yang seperti kebingungan, Melville pun melanjutkan “I should know that, kamu gak suka nonton berita”
Rhea kembali menyengir lalu memasukkan potongan terakhir daging sapi asap dan mulai menatap Melville dengan serius.

“Hari ini dua orang ditemukan mati di dekat danau Spahire dengan bekas gigitan aneh yang mengoyak badan mereka” lanjut Melville

“Binatang liar kali”

Melville mengangkat bahunya dan berkata lagi “jangan main – main di danau itu lagi Rhe”

***

Rhea berbaring di tempat tidur hitamnya. Matanya yang bulat menatap langit – langit kamar yang penuh dengan hiasan bintang sambil memikirkan sesuatu. Sudah hampir sebulan ini Ayahnya bersikap aneh padanya dan Ibu. Ayahnya tampak jijik jika berada didekat mereka. Entah apa yang terjadi pada Ayahnya. Tapi seingat Rhea, kelakuan Ayahnya berubah saat mereka mengunjungi rumah keluarga Ibunya yang kini dibiarkan kosong dan tidak terurus.

Ibu Rhea adalah satu – satunya penerus keluarga Barones atau bisa dikatakan Athea-Ibu Rhea- adalah anak tunggal di keluarga tersebut. Keluarga Barones adalah keluarga yang aneh. Mereka dikabarkan berasal dari Asia dan tampak tidak memiliki sanak saudara. Pertengahan abad 20-an mereka pindah ke kota kecil ini bersama anak gadis mereka yang telah remaja dan seorang pengasuh yang bernama Delia. Saat ini hanya Athea yang hidup, oleh karena itu rumah megah tersebut tampak tidak berpenghuni. Athea lebih memilih hidup dirumah sederhana bersama keluarga kecilnya, mengingat rumah megah milik keluarganya tampak tidak cocok untuk ditinggali 3 orang saja.

Rhea mendadak merasa haus dan segera melangkahkan kakinya ke ruang makan. Saat ingin mengambil minum di kulkas, dia mendengar suara Ayahnya yang tampak sedih dari arah ruang keluarga. Rhea minum sebotol limun dengan cepat dan berjalan menuju ruang tengah.

“A-a-ayah?”kata Rhea dengan sedikit cemas sambil menyentuh bahu Ayahnya.

Claud-Ayah Rhea-terdiam dan kemudian menatap anaknya yang mulai duduk disampingnya. Tangannya mulai bergetar melihat Rhea yang menatapnya dengan sendu.

“D-d-dia seharusnya tidak boleh lahir”batin Claud.

Rhea terus menatap Ayahnya seakan menunggu sebuah jawabannya. Matanya membulat dengan pasti disertai dengan alis yang terangkat dengan jelas.

“Ayah tidak apa – apa dan sebaiknya kamu tidur”

Rhea menatap jam dinding di ruang tersebut lalu mengangguk. Sebelum pergi ke kamarnya, Rhea mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi Ayahnya dan mengucapkan selamat malam dengan lembut.

Ayahnya hanya memandang Rhea yang menjauh. Tangannya dikepal dengan kuat. Ingin rasanya dia menghindar dari kecupan itu tadi namun hati kecilnya sebagai Ayah luluh merasakan kehangatan kasih sayang dari seorang anak.

“Apa yang harus aku lakukan” batin Claud.

Rhea kembali berbaring di atas tempat tidurnya sambil memikirkan bahasa tubuh Ayahnya tadi. Tidak seperti biasanya, Ayahnya tampak canggung dan tidak mengucapkan apa – apa saat Rhea berlalu.

“Mungkin Ayah sedang banyak masalah” gumam Rhea ,lalu menutup matanya dengan perlahan.

***

Rhea berlari – lari kecil mengejar taksi diantara hujan yang mengguyur kota kecilnya. Tangannya mengibas – ngibaskan payung yang basah di dalam taksi dengan cepat. Supir taksi berdehem keras melihat kelakuan Rhea yang membasahi taksinya. Rhea meminta maaf dan menyimpan payung hitamnya didekat kakinya.

Beberapa menit kemudian Rhea telah duduk di depan sebuah bioskop ternama menunggu Melville. Rhea terus menatap jam tangan antiknya yang kini menunjukakkan pukul 11.00. Suara seorang wanita menggema dengan keras dan memberitahukan bahwa pintu teater  1, tempa Rhea dan Melville akan nonton akan telah dibuka. Rhea semakin cemas , lalu mencoba menghubungi Melville via telepon.

“Maaf, Rhe” kata Melville yang tiba – tiba muncul dihadapan Rhea.

Rhea cemberut, menyimpan handphonenya, lalu menarik Melville masuk ke dalam teater 1. Rhea dan Melville masuk ke dalam bioskop dengan perlahan. Gerutuan para penonton membayangi langkah mereka saat ingin menuju tempat duduk yang mereka pilih. Melville dengan tubuhnya yang cukup besar tampak mengganggu penonton.

“Makanya jangan lama” kata Rhea saat duduk.

“Sorry, diluar lagi hujan deras”

“Ssssstt”

Penonton yang duduk disebelah mereka menatap dengan tajam. Rhea dan Melville seketika tersenyum kecut dan mengarahkan pandangan ke depan dan mecoba menikmati film yang mereka pilih.

Dua jam kurang belalu, Rhea dan Melville kini terlihat sedang menikmati chicken crispy disalah satu food court. Rhea melahap makanannya dengan cepat sementara Melville terus menatapnya takjub.

“Makanmu makin banyak saja” komentar Melville.

“Biarin aja, lagi ada masalah dengan Ayahku. Daripada marah – marah gak jelas, lebih baik makan sebanyak – banyaknya kan ?”

“Salad ?” tanya Melville sambil menunjuk salah satu menu yang bergambarkan sayur dengan sedikit mayonnaise. Rhea menggelengkan kepalanya dan menunjukkan ekspresi ingin muntah.

“Huh !! Memang ada masalah apa sih ? Dilarang ikut prom night nanti ?” tanya Melville lagi.

“Bukan, Ayah jadi bersikap aneh padaku dan Ibu”

“Mungkin lagi banyak masalah” kata Melville.

“Hope so”

Rhea melemparkan pandangannya ke arah kaca bening yang menampakkan ruas – ruas jalan raya. Rhea menikmati pemandangan tersebut. Daridulu dia memang suka melihat ruas – ruas jalan yang tampak indah menopang langkah bermacam – macam orang. Seulas senyum pun tersungging dari bibir mungilnya.

“Rhe . .”

Rhea menatap Melville lalu menaikkan alisnya yang tipis. Melville tersenyum dan meminta Rhea untuk segera menghabiskan makananannya. Mereka harus segera pulang karena hari semakin siang sementara Melville memiliki jadwal kuliah siang nanti. Rhea mengangguk dan dengan segera menghabiskan makanannya.

“Panas sekali sekarang” kata Rhea melindungi matanya dengan tangan.

“auch” kata Rhea seketika merasakan sengatan matahari yang serasa mengoyak kulit tangannya.

Tangan Rhea tampak melepuh dibalik sinar matahari. Rhea menatapnya dengan heran dan menjauh dari cahaya matahari lalu mencoba melambaikan tangannya yang lain pada Melville yang telah berada di dalam taksi.

“Kenapa ini?” kata Rhea sambil memandangi kulit tangannya yang mengelupas.

***

Rhea pulang ke rumah saat matahari berganti menjadi cahaya bulan. Tangannya yang melepuh dipegang dengan lembut. Luka lepuhan itu meninggalkan bekas yang aneh dan kontras dengan tangannya yang putih.

“Tangan kamu kenapa sayang?” kata Ibu Rhea saat makan malam.

“Melepuh kena matahari”

Seketika itu pula Ayah Rhea tersedak dan hampir menyemburkan makanan yang dikunyahnya. Matanya menatap Rhea dengan tajam, lalu mulutnya mengeluarkan sebuah suara bariton yang serak saat berkata “mulai besok jangan kuliah”

Kini giliran Rhea dan Ibunya yang tampak ingin tersedak. Rhea dan Ibunya membulatkan mata dengan lebar lalu saling menatap.

“Lihat tanganmu, itu yang akan terjadi kalau kamu masih nekat kuliah”

Rhea menatap tangannya seakan paham akan sesuatu lalu berkata “maksud Ayah tanganku bakal melepuh lagi kalau kena sengatan matahari?”

“Jangan bercanda, tadi itu hanya kebetulan” timpal Ibu Rhea.

Ayah Rhea menatap Rhea dengan tajam dan kemudian beranjak dari ruang makan. Ibu Rhea tersenyum lalu mengelus tangan anaknya yang tampak bingung dan berkata bahwa mungkin Ayahnya terlalu khawatir hingga berlebihan seperti itu.

***

Claud de’Bureau melangkahkan kakinya diantara bangsal yang pinggirannya ditumbuhi bunga Lily. Claud de’Bureau adalah Ayah dari Rhea dan juga anak dari salah satu bangsawan terkemuka di kota kecil tempat dia tinggal saat ini. Dia adalah anak bungsu dari keluarga tersebut. Sejak memilih menikah dengan Athea Barones, Claud diusir dari rumahnya. Keluarga besar Claud tidak setuju jika Claud menikah dengan Athea yang dianggap rendah. Namun, rasa cintanya pada Athea mengalahkan segalanya, bahkan saat Delia datang dan mengatakan suatu hal yang semakin mengguncang keluarga Claud. Kini, Claud tampak mulai menyesali tindakannya.

Langkahnya kini terhenti di depan sebuah ruangan yang terletak di ujung bangsal. Sebuah ketukan kecil terdengar. Seorang pria berbadan bulat dengan janggut keputihan yang menjuntai muncul dari balik pintu. Pria tersebut tersenyum dan mempersilahkan Claud masuk.

Aroma lavender tercium dari dalam ruangan. Claud menarik napas panjang lalu tersenyum menikmati keasrian ruangan tersebut. Ruangan kecil tersebut tidak tampak seperti ruangan dokter pada umumnya. Warna cokelat mendominasi seluruh ruang yang berukuran lumayan tersebut. Dindingnya tampak dihiasi dengan berbagai macam lukisan bunga lavender. Dua buah kursi kayu mahoni berpelitur juga tampak tersusun rapi di depan sebuah meja persegi yang berbahan senada. Sebuah kursi lain tampak terdiam sendiri di salah satu bagian meja. Papan nama berbentuk segitiga sama kaki dengan ukiran bunga edelweis tampak mencuatkan nama dr. Patrick Redwood. Pria bulat tadi kemudian duduk disebuah kursi  yang membelakangi papan nama tersebut. Sementara Claud duduk disalah satu kursi berpelitur sambil menyimpan tas kerjanya di kursi yang lain.

Dia mengeluarkan sebuah berkas lusuh dari dalam tas dan menunjukkannya pada dr. Patrick.

“Ingat yang aku bicarakan kemarin Patrick?” katanya seraya melihat ekspresi Patrick.

“Iya dan apakah hal itu yang mengundangmu kesini lagi?” kata Patrick sambil membetulkan posisi duduknya.

“Tanda – tandanya sudah ada. Aku sudah menduganya sejak melihat foto itu. Aku mengenal pria itu dan berkas ini . .” Claud mengangkat berkas lusuh ditangannya tinggi – tinggi “menguatkan segalanya”

“Tenanglah Claud. Kamu hanya terlalu takut ke . . .”

“Aku memang takut” potong Claud.

“Aku memang takut” ulangnya pelan.

***

Rhea menangis menatap tubuhnya yang semakin pucat dan tampak gelap selayaknya orang mati. Ke dua tangannya dikepal erat dan dihempaskan dengan kuat ke arah cermin yang berdiri tegap dihadapannya. Suara pecahan kaca membahana dipenjuru rumah dan mengagetkan Athea-Ibu Rhea.

“Sayang . .” Athea tampak berdiri pilu di depan pintu kamar anaknya.

“Aku kenapa Bu” tangis Rhea semakin kencang.

Athea memeluk anaknya dengan lembut lalu mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Hari ini kita ke tempat dokter Patrick. Ganti bajunya, biarkan pecahan itu dibereskan Ibu. Jangan menangis sayang” kata Athea sambil mengangkat wajah anaknya.

Beberapa saat kemudian Athea meninggalkan anaknya sendiri di kamar. Langkahnya mengarah tegas ke kamar. Tangannya yang bergetar menggebrak meja rias.

“Claud, apa yang sebenarnya terjadi !!” kata Athea sambil menatap Claud-suaminya-dari cermin.

Merasa tidak diacuhkan, Athea berjalan ke arah Claud yang sedang duduk di tempat tidur. Matanya berkaca – kaca menyiratkan sebuah pertanyaan. Claud hanya menarik napas dan beranjak dari tempatnya duduk.

Sebelum keluar dari kamar ia berkata “ Kita bertemu Patrick supaya semua lebih jelas”

***

“Harus transfusi darah tiap minggu atau suntikkan ini padanya” kata dokter Patrick pada Claud dan Athea.

Athea kemudian memaksa Claud dan Patrick untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Rhea. Claud tertunduk dan meminta Patrick menjelaskan semuanya. Patrick menarik napas panjang dan mencoba menjelaskan semuanya dengan berhati – hati. Athea mendengarnya dengan seksama dan mulai menitikkan air mata saat Patrick menceritakan semuanya.

“J-j-jadi ini salahku?” kata Athea sendu.

“Bukan sayang, ini bukan salah siapa – siapa. Takdir memang seperti ini”

Claud lalu memeluk Athea dengan hangat dan melanjutkan “sekarang kita harus menjaga Rhea dengan baik”.

***

Hari ini Melville datang mengunjungi Rhea yang hampir sebulan tidak bertemu dengannya. Dia sempat terkejut saat melihat tubuh Rhea yang semakin kurus dengan kulit putih gelap yang aneh dan tampak pucat.

“Kamu sakit apa Rhe ? ” Melvile memeluk Rhea dengan penuh kasih sayang.

“Aku juga tidak tahu, Ayah dan Ibu tidak pernah mengatakannya padaku”

“Baumu seperti darah” kata Melville sambil melepaskan pelukannya.

Rhea hanya tersenyum menatap Melville. Kemudian mereka saling bertukar cerita tentang apa yang mereka lalui selama ini. Melville dengan semangat bercerita tentang acara weekendnya di pantai bersama keluarga. Mata Rhea berkaca – kaca saat mendengar hal itu. Dia rindu bau pantai dan hangatnya matahari yang menyengat tubuh. Matanya menerawang jauh ke masa  – masa indah saat dia bisa berlari dan berenang di pantai.
Melville menangkap sinyal kesedihan itu dan mulai mengalihkan pembicaraan. Dia bertanya tentang kegiatan Rhea selama di rumah dan meminta maaf karena baru bisa menjenguknya. Rhea, sekali lagi, hanya tersenyum mendengar perkataan Melville.

Sejam sudah Melville dan Rhea bertukar cerita. Sebuah panggilan singkat dari handphone Melville mengharuskan dirinya untuk segera pulang. Dia memeluk Rhea sekali lagi lalu turun ke bawah dan segera berpamitan pada Ibu Rhea.

Setengah perjalanan, Melville tersadar bahwa handphonenya tertinggal di tempat tidur Rhea. Dengan segera dia kembali ke rumah Rhea. Betapa terkejutnya Melville ketika melihat sebuah selang infus yang berisi cairan darah terhubung ke tangan Rhea. Matanya semakin membulat saat melihat Ibu Rhea menyuntikkan sesuatu yang berwarna merah dan kental.

“Ada apa Melville?”

Suara bariton berat mengagetkan Melville.

“Ah om, i-i-itu handphone saya ketinggalan” jawab Melville gugup.

“Tunggu disini”

Claud kembali berdiri dihadapan Melville sambil membawa sebuah handphone hitam. Melville menerima handphone tersebut dan dengan segera pergi dari rumah tersebut.

“Jangan – jangan rumor selama ini benar” gumam Melville sambil menatap jendela kamar Rhea dari luar.

***

Pemberitaan di kota kecil tempat Rhea tinggal mengenai keberadaan makhluk aneh semakin menjadi  –  jadi. Beberapa minggu belakangan ini korban tewas dengan gigitan yang mengoyak tubuh semakin bertambah. Claud semakin cemas dengan pemberitaan tersebut. Dia menatap anaknya dengan sedih. Rhea tersenyum memandang Ayahnya dan berjalan ke arah jendela. Tubuhnya yang ringkih terbalut sebuah kapuchon merah marun. Rambutnya yang berwarna perak tampak semakin menipis dan menyisakan jejak – jejak rontokan rambut disepanjang langkahnya.

“Apa harus malam ini Ayah?” tanya Rhea sambil terus menatap jendela.

“Iya, harus secepatnya kita pergi dari kota ini”
Rhea tersenyum kecut menatap langit yang mulai menampakkan warna jingga kemerahan. Ayah Rhea-Claud-kemudian meninggalkan Rhea sendirian di ruangan tersebut. Rhea terus menatap jingga kemerahan, ada setitik kerinduan yang menghampiri dirinya.

“Aku mau keluar” gumam Rhea.

“Ayo”

Melville tiba – tiba muncul dihadapan Rhea. Rhea menatap Melville yang mencoba memanjat jendela dengan susah payah. Tubuh Melville yang semakin tambun tidak mampu melewati jendela tersebut. Rhea tertawa dan meminta Melville untuk menjauh dari jendela. Sebuah lompatan kecil terlukis dari kaki Rhea. Kemudian Rhea berlari kecil mengikuti langkah Melville. Awalnya Rhea merasa sedikit  aneh dengan sikap Melville yang tampak semakin kasar. Namun, hal tersebut ditepisnya  dengan segera.

Melville membawa Rhea mengelilingi kota, menikmati ice cream, hamburger, serta mengunjungi kampus dengan menggunakan van orangenya. Rhea merasa sangat bahagia dan menikmati perjalanan tersebut. Dia bersyukur karena bisa jalan – jalan untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan kota kecil ini. Senyuman tidak pernah lepas dari wajah ovalnya.

Kini senja perlahan menghilang ditepis angin malam yang berkabut. Melville mengarahkan van orangenya ke arah danau saphire.

“Kenapa kita kesini Mel ? Kata Ayah ada makhluk buas yang berkeliaran di sekitar danau dan hutan pinus disana” kata Rhea sambil menunjuk jejeran pohon pinus diseberang danau.
Melville melemparkan batu kecil ke arah danau. Batu tersebut terpantul tiga kali di atas air seperti jet ski yang menerjang ombak. Melville kembali ke bawah pohon pinus tempat Rhea berdiri lalu berkata “jangan menutupinya lagi Rhea”

Rhea mengerutkan dahinya, menandakan bahwa dirinya tidak mengerti apa yang dikatakan Melville. Melville menyeringai lebar dan mencengkeram bahu Rhea dengan kuat. Rhea mencoba berteriak namun tangan kiri Melville dengan sigap membungkam mulut Rhea dengan sebuah sapu tangan.

Siulan kecil Melville mendatangkan berbondong – bondong orang yang membawa obor dan pisau perak. Mata Rhea membulat ketakutan menatap semua itu sementara Melville dengan cekatan mengikat tangan serta kaki Rhea.

“Kamu kan yang sudah membunuh semua orang dengan gigimu yang runcing tajam itu ?!!” teriak Melville.

Rhea menggelengkan kepalanya dengan keras yang kemudian diselingi dengan teriakan serombongan orang yang berada ditempat tersebut. Rhea menangis menatap Melville dan berharap ini semua hanya mimpi. Namun, tusukan sebuah pisau perak membuatnya tersadar bahwa ini bukanlah mimpi.

Darah kental menetes dari tangan kanan Rhea. Airmatanya semakin deras mengalir seiring dengan tusukan berikutnya yang mendarat di tangan kanannya. Hati Rhea seperti tersayat dengan dalam ketika melihat orang yang tega menusuknya adalah Meville.

Meville terus menusuk tangan dan kaki Rhea dengan kejam. Matanya berubah menjadi cokelat kemerahan saat menatap luka disekujur tangan dan kaki Meville. Tubuhnya berguncang dan dengan segera dia mundur ke arah barisan rombongan berobor.

Seketika itu pula Claud beserta Athea muncul. Mereka terguncang melihat Rhea yang terluka dan diikat dengan biadab. Tangan Claud yang besar dikepalkan dengan kuat dan terarah pada rombongan berobor tersebut.

“APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA RHEAKU !!!!!!!!!” teriaknya dengan bengis.

Urat – urat diwajahnya tampak menegang dan mencuat diantara kulit wajahnya yang putih. 
Rombongan yang berada disitu seketika mundur perlahan sementara Melville telah menghilang entah kemana.

“DIA DRAKULA !!! DIA MEMBUNUH ANAKKU” teriak seorang wanita berambut hitam panjang.

“KAU !!”

Wajah Claud menegang melihat wanita itu. Athea yang telah berhasil melepas ikatan Rhea mencoba menahan Claud dan membopong  Rhea yang lemas. Claud menghentikan pukulan tangannya yang hampir saja mendarat di wajah wanita tersebut.

Rombongan yang berada di temoat tersebut meneriakkan kata drakula secara bersamaan. Wanita berambut hitam panjang tadi pun melangkah maju dan berkata” Lihat wajahnya yang putih dan memucat. Kemana dia selama ini hah !!! Siang hari dia tidak pernah keluar rumah dan kulitnya pernah terbakar karena matahari kan?!! Saya juga melihat Anda dan Isteri Anda yang tiap minggu memasanga infus yang berisi gumpalan darah pada ANAK INI !!!”
Telunjuk wanita tersebut mengarah pada Rhea.

“R-r-rhea bukan drakula” isak Athea.

Seluruh orang yang berada disitu berteriak dengan heboh mendengar perkataan Athea. Wanita berambut hitam panjang tadi memberikan isyarat untuk maju dan menyerang keluarga tersebut. Athea mengeratkan pelukannya pada Rhea sambil menangis, sementara Claud mencoba melawan dengan sekuat tenaga.

“Ini salahku” batin Athea sambil melindungi Rhea dan mengingat kembali perkataan Patrick beberapa hari yang lalu.

“Rhea menderita penyakit Porphyria. Penyakit ini biasanya mengganggu pigmen porphyrin, yang memberikan warna pada hemoglobin. Penyakit ini punya beberapa subtipe dan yang diderita Rhea tergolong subtipe Porphyria Cutanea Tarda yang akan menyerang saraf dan kulit. Hal itu akan membuat Rhea tampak seperti . . .drakula” suara Patrick mengecil saat mengatakan hal tersebut.

Athea menangis mengingat hal tersebut apalagi saat mengingat alasan yang membuat anak kesayangannya ini menderita penyakit tersebut.

“Banyak hal yang bisa memicu hal itu Thea, seperti kelainan genetik, obat-obatan,konsumsi rokok dan alkohol, stres dan gangguan hormon selama menstruasi, serta kelebihan zat besi. Aku tahu Rhea tidak pernah mengkonsumsi hal yang aneh, dia mendapatkan penyakit itu . . . . . . . karena pernikahan sedarah antara kamu dan Claud” saat mengatakan hal itu, Patrick menyodorkan surat – surat dan foto keluarga milik Claud.

Itulah kenangan terakhir yang terlintas dipikiran Athea sebelum dia terbujur kaku sambil memeluk anaknya yang juga telah meregang nyawa.

“Mereka meninggal” kata salah seorang pria berbadan kurus.

Seketika itu pula Claud berjalan ringkih ke arah anak dan isterinya. Tubuhnya yang berbalut darah mendekap ke dua wanita tersebut dengan pilu. Rombongan yang berada disitu merasa ada sesuatu yang salah.

“K-k-kalau dia dan keluarganya drakula kenapa mereka lemah d-d-dan tidak mengigit kita?” tanya pria berbadan kurus tadi dengan gugup.

Rombongan tersebut baru menyadari hal itu. Kemarahan yang kuat dan menyala telah membuat mereka melupakan segalanya. Pisau perak perlahan terjatuh dari tangan mereka. Mereka terpaku menatap keluarga kecil yang baru saja mereka aniaya. Satu per satu langkah mereka menjauh dalam diam. Keegoisan membuat mereka tidak mengatakan kata maaf meskipun di hati mereka yang terdalam mereka menyadari kesalah yang telah mereka perbuat.

Claud menangis menatap anak dan isterinya yang terdiam. Tangisnya pecah dengan kuat.

“Harusnya ini tidak terjadi kalau saja aku tidak menikahimu, jangan pergi” isak Claud sambil menatap wajah Athea.

Pikirannya kalut dan tidak dapat berpikir jernih lagi. Tangannya yang sobek mengambil sebuah pisau perak. Dengan penuh airmata, pisau tersebut diarahkannya tepat ke jantung. 
Tak butuh waktu lama, jiwanya melayang menyusul Athea dan Rhea.

***

Epilog

Sebuah langkah kecil terarah pada tiga mayat yang tersayat – sayat. Dua taring putih mencuat dari bibir mungil orang tersebut. Seringai jahat tersulam dari kulit wajahnya yang berwarna hitam.
Hidungnya digerak – gerakkan dengan seksama mencium bau darah yang keluar dari tubuh tiga orang tersebut. Seringainya semakin lebar, sejurus kemudian taringnya menancap ke arah mayat tersebut. 

THE END


SCARY list (just click the tittle) :


Read another story, just click the labels --->

Label:

XOXO;
08.02

profile

Hello, I'm Fee [read : Fe], an ordinary girl in extraordinary life :) I currently move to my sunny blog
Click it





Friends

  • Wind starshinee
  • Eka-Penyair Timur
  • Qchan
  • Inna
  • Inchen
  • Selly
  • Flow
  • Lady Queela
  • Ifa
  • Intan
  • Gabaritangles
  • Presticilla
  • Qonita
  • Death-a
  • Shafira Noor Latifah
  • Aul
  • Indy


    Favourite

    I almost see and keep reading to this great blogs :)
  • Anak Perempuan dan Ayahnya
  • Perempuan Sore
  • Lala Bohang [writing]
  • Lala Bohang [drawing]
  • Hana Tajima Simpson
  • Raditya Dika
  • Richard
  • Damarisasi-7th July accoustic
  • 30Hari Menulis Surat Cinta


    credits

    picture design: deviant art
    skin: camisado
    brushes: echoica