<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5957484796438620653\x26blogName\x3dFEE+STORY\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://feestory.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://feestory.blogspot.com/\x26vt\x3d-85442414082640969', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

WEREWOLF NOT HERE - PART 1
Minggu, 06 Maret 2011





- THE WAY TO FIND A FANG -


EPILOG

“Aku akan kembali nanti setelah sukses dan bisa membuat Ayah dan Ibumu yakin” suara itu terdengar samar – samar ditelan deru mesin bus yang semakin menjauh.

Seorang gadis berkepang dua tersenyum diantara deraian air matanya mendengar hal itu. Sebuah sapu tangan bercorak dikeluarkannya dengan perlahan. Deru mesin bus kini tak terdengar lagi. Gadis itu tetap saja berdiri menatap jalan yang dilalu bus tadi dengan sebuah harapan.
***
“Bagaimana?” tanya seorang gadis bersepatu bot kulit.

Gadis manis yang berdiri dihadapannya hanya menggelengkan kepala lalu meletakkan sekaleng besar susu perah ditanah yang becek. Gadis tadi menghela napas dan masuk ke istal kuda. Gadis itu adalah Karina Louis, gadis yang mewarisi sebuah peternakan besar di desa kecil yang terletak di pinggiran kota. Dia adalah anak tertua dari keluarga Louis yang berkewajiban mengurus serta meneruskan usaha peternakan adalah kewajibannya. Sedangkan gadis yang tadi diajaknya bicara adalah Charlotte Louis, anak bungsu dari Louis bersaudara.

Charlotte menatap kakaknya yang tengah sibuk menggosok punggung kuda hitam kesayangannya. Matanya mulai menatap susu perah yang tadi tidak dibeli oleh Fabrian. Otaknya mulai diputar dengan perlahan, siang ini dia harus sudah bisa menjual susu perah tersebut jika tidak ingin kakaknya marah besar. Mau tidak mau dia harus berjalan lebih jauh lagi untuk menjual susu tersebut. Selama ini, Charlotte cukup beruntung karena bersahabat dengan Fabrian yang suka berjualan di tengah desa. Namun hari ini, Fabrian sakit dan tidak bisa membeli susu perah seperti biasanya.

Sejak ke dua orang tuanya meninggal, Charlotte selalu patuh dan menghormati Karina dan ke dua kakak perempuannya yang lain – Rowinda dan Miranda.

“Kenapa masih disitu?” teriak Karina dari istal kuda sambil menatap Charlotte dengan tajam.

“Tugasmu belum selesai?” Rowinda muncul mendadak dari belakang Charlotte. Dia menatap Charlotte dari atas sampai bawah dengan tatapan mengejek.

“Sebaiknya cepat jual susu itu kalau tidak ingin Karina memarahimu seperti biasanya” kata Rowinda sambil terkekeh pelan.

Charlotte menghela napasnya dengan panjang dan mencoba mengangkat sekaleng susu yang ada dihadapannya. Wajahnya merengut menahan beban susu di dalam kaleng tersebut. Pikirannya mulai tidak tenang membayangkan dia harus mengangkat sekaleng susu itu ke pasar di tengah desa.

“Butuh bantuan?”

Charlotte mengangkat wajahnya dari kaleng susu dan menatap pemilik suara lembut tersebut. Seorang pria dengan badan tegap dan kulit cokelat tua berdiri dihadapannya. Charlotte menatap pria itu dengan seksama, ada sesuatu yang menggelitik hatinya, dia merasa mengenal pria tersebut. Mata teduh pria itu mengingatkannya akan sebuah mata yang dulu pernah menatapnya.

“Edwin?” kata Charlotte seketika.

Pria yang dipanggil Edwin tersebut melepaskan pegangannya pada motor tua lalu tersenyum dan memeluk Charlotte.

“Aku kembali” desis Edwin di telinga Charlotte.

Charlotte tersenyum lalu melepaskan pelukan Edwin. Dia mengarahkan pandangan matanya pada peternakan. Edwin melirik sekilas lalu mengangguk dan dengan segera mengantarkan Charlotte ke pasar.

“Aku sudah dengar dari penduduk desa. Bagaimana keadaanmu sekarang?” kata Edwin sambil tetap fokus mengendarai motor.

“Aku baik – baik saja. Masih ada Kak Karina, Rowinda, dan Miranda. Mereka menyayangi dan menjagaku dengan baik” Charlotte memeluk kaleng susu dihadapannya semakin erat.
Edwin melirik sekilas dari balik spion. Dia tahu wajah Charlotte menampakkan hal yang berbeda.
***
“Anak itu sudah kembali” Rowinda berdesis perlahan di meja makan.

Charlotte tersentak dan menjatuhkan sendok supnya ke lantai. Rowinda terkekeh melihat tingkah adik bungsunya itu. Karina dan Miranda hanya terdiam dan tampak menikmati sup mereka masing – masing. Charlotte tidak suka melihat ketenangan ke dua kakaknya itu. Sup kacang polong yang terhidang dihadapannya tampak tak nikmat lagi. Matanya mulai menampakkan ketakutan.

“Supmu harus cepat dihabiskan selagi masih hangat” kata Karina sambil tetap menikmati supnya.

“I-i-iya” dengan tangan gemetar Charlotte mulai memasukan suapan sup kacang polong ke mulutnya. Sup kacang polong yang encer seperti berubah menjadi butiran batu saat menghampiri tenggorokannya.

Menit berganti dengan cepat. Charlotte terdiam di istal kuda menatap ke tiga kakaknya yang sedang berdiri dihadapannya. Charlotte tertunduk lesu, airmatanya membuncah dengan deras.

“Ini peringatan ke dua Charlotte” desis Miranda sambil mengangkat wajah Charlotte.
Karina melangkah keluar dari istal sambil membuang sebuah kotak obat diikuti Miranda dan Rowinda, sementara Charlotte masih membisu dengan deraian air mata. Matanya yang sembab memperhatikan telapak tangannya yang melepuh. Rasa sakit bisa ditahannya namun disaat mengingat impiannya menjadi pianis akan segera sirna karena luka ini, airmatanya kembali menetes.

Sepi menyapu malam yang berselimut kegelapan. Charlotte coba menghentikan aliran airmatanya dengan berpikir semua akan baik – baik saja. Telapak tangannya yang melepuh dibersihkan dengan perlahan. Sesekali wajahnya tampak meringis menahan sakit saat kapas lembut mendarat di lepuhan itu. Sebuah perban panjang dililitkannya dengan rapi menutupi lepuhan tersebut.

“Aku pasti baik – baik saja”
***
Edwin menatap Charlotte yang berlari kecil diantara padang rumput. Senyumannya membuncah diiringi dengan gerak tangannya yang secara otomatis melambai ke arah Charlotte. Charlotte menghampiri Edwin dengan tatapan sendu.

“Kenapa?” kata Edwin saat melihat wajah Charlotte yang sama sekali tidak tersenyum.

“Sebaiknya kita berpisah saja”

“Apa ?!!” kata Edwin setengah berteriak. Tangannya dengan cekatan menahan Charlotte yang ingin berlari meninggalkannya.

Charlotte terisak perlahannya, badannya yang kecil bergerak – gerak mengikuti isakan tangisnya. Edwin yang kaget melihat tingkah Charlotte dengan segera mencoba menenangkan Charlotte. Edwin menyerahkan sapu tangan biru donkernya pada Charlotte.

“Kakakmu lagi?” tanya Edwin dengan hati – hati.

Charlotte diam dan tertunduk memandang rerumputan yang layu pasrah karena terinjak. Edwin memeluk Charlotte dengan erat, berharap Charlotte akan segera tenang kembali.

“Maaf” desis Edwin.

Mendengar perkataan Edwin, tangis Charlotte semakin kencang. Dia merasa sangat bersalah karena akan menyakiti Edwin. Bibirnya kelu dan merasa tidak sanggup mengucapkan kata – kata kejam tadi sekali lagi. Dengan sekuat tenaga Charlotte mencoba mengangkat wajahnya dan tersenyum menatap Edwin.

“Tadi . . . apa maksudnya” kata Edwin.

Charlotte menghela napasnya dan mencoba menahan senyumannya agar tetap mengembang dan bekata “Aku cuma . . sepertinya aku cuma kelelahan jadi ngomong aneh seperti itu”
Edwin mengangguk dan menarik kembali Charlotte ke dalam pelukannya. Dia tahu apa yang dikatakan Charlotte adalah bohong tapi dia tidak mau membahas hal itu lebih jauh lagi. Dia tidak ingin perasaan Charlotte terluka.

Tak jauh dari tempat tersebut, dibawah pepohonan rindang tampak tiga orang gadis yang berdiri dengan tatapan tajam.

“Sepertinya mereka masih tetap . . .”

“Biarkan saja, kita ubah rencananya” gadis yang paling tinggi memotong ucapan gadis paling pendek dengan cepat.

***
Karina duduk di ruang tamu sambil menghirup jasmine tea. Tangannya yang kasar mengambil salah satu muffin cokelat yang tehidang di porselen antik. Miranda melakukan hal yang sama namun sambil berdiri menatap ke istal kuda. Mata Miranda menyipit secara otomatis melihat sebuah titik yang berlari – lari di peternakan.

Senyuman anehnya mengembang dengan menakutkan. Sejurus kemudian dia duduk perlahan disalah satu kursi di samping Karina. Matanya menatap tajam jasmine tea di dalam gelas porselennya.

“Rowinda sudah kembali dan seperti yang ku lihat, rencana kita berjalan sukses” kata Miranda dengan cepat sambil tetap menatap jasmine tea nya.

“Bagus, pria itu harus membayar semua yang telah dia lakukan pada kita” kata Karina sambil menatap Miranda dengan tajam.

Beberapa menit yang lalu, di sebuah hutan . . .

Edwin memperhatikan senapan laras panjang miliknya dengan seksama. Tangannya yang cokelat kekar mencoba mengelus senapan tersebut. Sebuah suara diantara ranting pohon membuat matanya dengan sigap memutar liar. Seekor kijang tampak malu – malu menunjukkan wajahnya. Edwin tersenyum mengejar kijang tersebut sambil memegang senapannya dengan erat, dan berharap akan segera bisa menarik pelatuk kecil di senapan tersebut.

Lima menit berlalu, sang kijang masih tampak semangat berlari – lari diantara pepohonan dan ranting yang menutupi jalan setapak di hutan tersebut. Edwin menghela napasnya dengan berat. Diusapinya peluh yang membanjiri tubuhnya dengan perlahan. Entah mengapa hari ini matahari tampak terlalu bersemangat menyinari desa kecil tersebut. Edwin tersengal – sengal menatap matahari sambil terus membatinkan kutukan.

Tanpa diduga, kijang tersebut berhenti dipinggir sungai. Moncong kecilnya diturunkan perlahan menyentuh air sungai yang bening. Edwin tersenyum menatap hal tersebut.  Senapan laras panjangnya dinaikkan dengan seksama dan diarahkan tepat ke arah kijang itu. Matanya yang bening mencoba mencari bidikan yang pas.

DOORRRRRR . . . . !!!

Sebuah tembakan mendadak melesat jauh dari sang kijang. Edwin tersentak jaget menatap makhluk besar dan berbulu yang berhasil mengoyak lengannya. Jantungnya berdegup kencang melihat taring berliur yang dimunculkan makhluk tersebut ketika menyeringai. Berbagai macam pengharapan diucapkan hati kecilnya dengan cepat kepada Sang Pencipta.
Sebuah siulan dilontarkan seseorang yang berdiri tidak jauh dari tempat tersebut. Seketika itu juga makhluk besar dan berbulu tersebut berlari menjauh.

“Serigala . . .” batin Edwin menatap gigitan makhluk tersebut.

***

Beberapa minggu belakangan ini Charlotte tidak dapat menemui Edwin. Hatinya merasa cemas dan khawatir memikirkan Edwin yang tiba – tiba menghilang.

“Apa yang kamu harapkan dari orang yang tiba – tiba menghilang seperti itu?” ejek Rowinda sambil menggotong kayu bakar.

Charlotte hanya terdiam memandangi kakaknya yang memang terbiasa mengganggunya. Matanya meniti tiap tawa yang keluar dari bibir tipis Rowinda. Dia merasakan ada sesuatu yang terjadi pada Edwin dan hal itu berkaitan dengan kakaknya. Rowinda menurunkan kayu bakar yang dibawanya dengan cepat. Dentuman kecil terdengar diantara rerumputan.

“Apa yang kau lihat ?!” bentak Rowinda yang merasa risih pada tatapan Charlotte.
Charlotte menggeleng namun saat melihat cengiran Rowinda yang semakin aneh, langkahnya dengan seketika terarah lurus pada tempat Rowinda berdiri. Tangan Charlotte dengan cepat mencengkeram lengan Rowinda, entah darimana datangnya kekuatan aneh itu. Rowinda membulatkan mata cokelatnya dan menatap tajam Charlotte.

“Apa yang kau lakukan anak kecil !!!!” suara Rowinda mulai meninggi.

Charlotte tersentak namun pikiran dan hatinya memaksanya untuk tetap bertahan. Batinnya mengatakan bahwa Rowinda pasti mengetahui sesuatu dan kali ini dia sudah cukup sabar dipermainkan oleh kakaknya sendiri.

“Kakak pasti tahu sesuatu tentang Edwin” desis Charlotte.

Rowinda bergetar namun wajahnya tetap terangkat seakan menantang Charlotte. Dia menyembunyikan kegugupannya dengan mencoba tersenyum sinis dan berkata, “Berani sekali kau, Charlotte. Aku ini kakakmu, diamlah dan kembali bekerja”

“Jawab aku !! Kakak pasti tahu sesuatu tentang Edwin !! Aku tahu Kakak tidak suka Edwin dekat denganku karena Kakak juga menyukainya kan !!!!!?” suara Charlotte meninggi dan penuh emosi. Tangannya yang kurus tetap mencengkeram lengan Rowinda, bahkan lebih kencang.

Rowinda meringis dan mulai merasa marah karena harga dirinya sebagai anak yang lebih tua dari Charlotte diinjak. Sebuah sentakan kuat membuat tubuh Charlotte mundur dengan perlahan. Rowinda memegang lengannya yang terlihat memerah. Air mukanya berubah menjadi emosi, dengan sekali ayunan keras pipi Charlotte berubah menjadi merah.
Charlotte semakin tersulut amarahnya. Adu mulut yang tadi tidak sengaja terjadi, kini berubah menjadi perang tarik rambut dan cakaran. Charlotte dan Rowinda berteriak menahan sakit dari perlakuan mereka  sendiri. Teriakan tersebut semakin kencang sehingga membuat Karina dan Miranda muncul dihadapan mereka berdua.

Mata Miranda membulat lebar melihat adik kecilnya berani melawan Rowinda, sementara Karina menengahi perkelahian itu dengan wajah memerah menahan amarah.

“ HENTIKAN !!!” teriak Karina sambil menarik tangan Charlotte dan Rowinda.

Charlotte dan Rowinda terdiam setelah mendengar teriakan Karina. Dengan penuh emosi Karina menarik mereka berdua ke dalam rumah disusul oleh Miranda yang masih tidak percaya bahwa Charlotte telah berani melawan Rowinda. Dia tahu seperti apa Charlotte. Meskipun selalu disiksa olehnya dan Karina serta ditertawakan oleh Rowinda, Charlotte tidak pernah membantah bahkan cenderung menerimanya dalam diam. Miranda mendelik tajam ke arah Rowinda saat mereka melangkah panjang ke dalam rumah. Rowinda menggerakan bibirnya membentuk sebuah kata tanpa suara yang membuat Miranda mengangguk lalu tersenyum sinis.

“Oh jadi pria itu yang membuatnya seperti ini” batin Miranda kemudian.

Mata Karina yang tajam menusuk ke dalam dada Charlotte. Charlotte tampak tepekur dalam diam mendengar Rowinda yang terus mengoceh. Ingin sekali rasanya dia berteriak dan memberontak, namun entah mengapa setiap melihat tatapan Karina, segala keinginan hatinya sirna.

“Angkat kepalamu Nona muda !! Memalukan sekali tingkahmu itu !!” cecar Karina pada Charlotte.

Charlotte tetap terdiam dan mencoba mengangkat wajahnya sekuat tenaga. Tangisnya pecah saat itu juga. Miranda yang sejak tadi tampak kesal juga turut mencecar Charlotte tentang tradisi keluarga Louis. Tangannya dengan sigap menarik rambut ikal Charlotte dan berkata, “Ingat apa yang membuat Ayah dan Ibu meninggal??”

Charlotte menggigit bawah bibirnya menahan sakit. Airmatanya terus mengalir membasahi pipinya yang memerah. Kematian Ayah dan Ibunya membuat airmata tersebut mengalir semakin deras. Apa yang terjadi padanya hari ini adalah buah dari tragedi tersebut.

Semua orang di desa ini tahu bahwa Keluarga Louis adalah keluarga yang sangat patuh pada tradisi aneh. Keluarga mereka – sejak jaman dulu – hanya akan menikah dengan sesama keluarga jauh Louis lainnya. Charlotte membuat sebuah pelanggaran dengan mencintai Edwin dan membuat ke tiga kakaknya tidak menikah. Menurut kepercayaan keluarga besar Louis, menikah dan mencintai orang lain selain keluarga Louis akan mendatangkan malapetaka. Charlotte dan Edwin tahu tradisi dan kepercayaan tersebut, namun mereka percaya bahwa cinta mereka akan mengalahkan segalanya.

Charlotte masih dapat mengingat dengan jelas tragedi yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Hari itu adalah hari minggu kelabu di pertengahan Desember, seperti biasa keluarga Louis akan mengadakan pertemuan di pusat kota. Charlotte yang telah berjanji pada Edwin untuk selalu menunggunya di sudut hutan , memilih tidak mengikuti pertemuan tersebut dengan berpura – pura sakit.

Semuanya tentu akan berjalan lancar jika saja Dorothy – penjual pancake madu di desa tersebut – tidak melaporkan apa yang dilihatnya di sudut hutan. Ke dua orangtua Charlotte marah besar, lalu dengan segera menderu mesin mobil tua mereka kembali ke desa. Dalam perjalanan ke desa, mobil yang mereka tumpangi tertabrak sebuah truk pengangkut kayu dan pada akhirnya mereka meninggal di tempat kejadian. Sejak saat itu, Charlotte dan Edwin selalu dicap sebagai pembawa kutukan.

“ BERHENTI MENANGIS !!!” teriak Karina tiba – tiba.

Ke dua tangannya dengan sigap menyeret Charlotte dengan kejam disepanjang lorong rumah. Tangis Charlote kini berganti menjadi sebuah teriakan kesakitan. Ke dua tangannya yang telah terikat tambang coba digerakkan dengan cepat.

PRANGGGGGGGGGG . . . .

Suara kaca pecah menghentikan langkah Karina. Dia segera memberikan isyarat pada Miranda dan Rowinda untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa saat kemudian suara teriakan mengejutkan terdengar. Karina mulai merasa cemas, matanya dengan siaga terarah pada ujung lorong tempat Miranda dan Rowinda menghilang.

“S-s-siapa itu? Miranda? R-r-rowinda?” kata Karina menatap siluet di ujung lorong.

Siluet tersebut melangkah mantab ke arah Karina. Sejurus kemudian Karina tersadar siluet tersebut bukanlah milik ke dua adiknya. Jantungnya berdegup sangat kencang disertai dengan peluh yang keluar dengan tak terkira.

“Edwin” desis Karina.

Edwin tampak sangat beda dengan sebelumnya. Wajahnya tampak penuh goresan sementara matanya tampak merah dan berair. Baju putihnya yang biasa tersampir menutupi tubuh kekarnya tampak sobek membentuk lekukan aneh. Jeans biru yang digunakannya pun tampak sama mengenaskan.

“Kalian yang membuatku seperti begini”

Akhirnya Edwin melepas suaranya yang serak. Karina tampak gemetar ketakutan menatap Edwin yang semakin dekat dengannya. Karina mundur secara perlahan mendekati meja bundar sementara Edwin melepaskan ikatan ditangan Charlotte.

“Sial, kenapa harus di malam seperti ini?” batin Karina.

Merasa memiliki kesempatan yang bagus, Karina dengan sigap menarik sebuah pisau lipat dan menancapkannya pada otot bisep Edwin. Darah kental mengucur dengan perlahan. Edwin menatap pisau tersebut sekilas dan mencabutnya. Seraya menggendong Charlotte, dia berjalan ke arah Karina dan berkata, “Jangan macam – macam lagi denganku !”

***
Charlotte termenung menatap bulan purnama yang tersenyum diselimuti langit malam. Malam ini adalah malam yang sangat aneh. Dia kemudian melempar pandangan pada Edwin dan seorang pria tua yang tampak seperti kepala suku Indian.

“Ini Algeron, sahabat Ayahku. Hampir enam bulan dia tinggal di dalam hutan ini” kata Edwin.

Charlotte tersenyum dan menerima uluran tangan Algeron. Tidak butuh waktu lama, Algeron telah akrab bertukar cerita dengan Charlotte. Dia merupakan tipe pria yang senang berceloteh tanpa diminta. Charlotte sangat senang mendengar setiap perkataan yang dilontarkan Algeron, tajam namun tidak menyinggung perasaan.

Api unggun dihadapan mereka kini berderak – derak pasrah menjadi abu, sementara Algeron mulai mengatakan rasa prihatinnya pada Charlotte. Dia mengatakan bagaimana bisa ada seorang kakak yang tega melakukan hal tersebut pada adiknya sendiri.

“Tradisi keluarga yang . . .” kata – kata Charlotte terputus karena Edwin segera berdiri.

“Aku mau pergi sebentar”

Edwin menghilang begitu saja diantara pepohonan tanpa berpaling pada Charlotte. Charlotte mencoba berdiri dan menahan kepergian Edwin, namun Algeron menarik tangannya dan menggeleng. Pada akhirnya Charlotte hanya duduk pasrah melihat api unggun yang mulai padam. Wajahnya yang murung tertutupi gelapnya malam, namun Algeron tetap dapat melihatnya.

“Dia harus pergi karena . . .”

Sebuah teriakan lengking serigala terdengar dan menghentikan perkataan Algeron. Dia tertunduk dan menangkupkan kedua tangannya di depan wajah. Charlotte – saat itu juga – tahu bahwa telah terjadi sesuatu pada Edwin.

“Apa yang telah terjadi? Edwin sudah lama menghilang dan kini muncul dihadapanku seperti itu dan . . . . .” Charlotte tidak dapat melanjutkan kata – katanya.

Algeron memeluknya dengan hangat, lalu menarik napas panjang dan mulai bercerita. Dia tahu bahwa selama ini, keluarga Charlotte sangat tidak menyetujui hubungannya dengan Edwin. Dia pun tahu bahwa keluarga Charlotte merupakan sebuah keluarga dari abad pertengahan yang masih berpegang teguh pada beberapa tradisi. Hal tersebutlah yang membuatnya kini berada di hutan ini.

“Aku tahu asal usul keluargamu karena keluargaku pernah bekerja pada keluarga Louis” desis Algeron perlahan.

Algeron mulai bercerita tentang bagaimana piciknya ke tiga saudari Charlotte. Mereka sudah beberapa kali ingin mencelakai Edwin. Terakhir kali mereka menggunakan sebuah serigala hutan untuk membunuh Edwin. Charlotte tepekur, dia mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Algeron.

“Mereka ingin menggunakan taktik yang sama seperti taktik yang pernah digunakan nenek buyutmu”

Algeron menerawang jauh dan kembali mengingat cerita dari kakeknya mengenai betapa Paula Louis – nenek buyut Charlotte -  dengan tega menyaksikan kekasih adiknya menjadi santapan serigala. Separuh  tangan pria malang itu habis tak tersisa dan akibat dari gigitan itu, Eugene – pria malang itu – bertingkah aneh selayaknya serigala. Paula menjadikan hal tersebut untuk mengusir Eugene dari kota. Dia menebarkan isu bahwa makhluk ganas yang tega membunuh hampir sebagian penduduk kota adalah Eugene. Dia dengan hebatnya dapat meyakinkan para penduduk bahwa Eugene adalah manusia serigala. Para penduduk yang pada jaman tersebut masih percaya akan hal – hal takhayul seperti itu mulai merasa ketakutan dan dengan beringas mengusir Eugene dari kota.

“Tapi, sekarang tidak mungkin ada yang percaya dengan hal tersebut. Semua orang tahu, hal tersebut disebabkan oleh rabies yang ditularkan dari gigitan serigala” kata Charlotte.

Algeron mengangguk dan berkata, “Tapi, desa ini berbeda dan bisa kau lihat penduduk macam apa yang menghuni desa ini. Ada baiknya kalian pergi dari tempat ini dengan segera karena aku yakin saudari – saudari anehmu tidak akan berani mengikutimu dan Edwin karena mereka telah percaya bahwa Edwin berubah menjadi manusia serigala.”

“Aku setuju, aku ingin segera pergi dari tempat ini. Selama ini kakakku tidak pernah takut apa pun dan mereka selalu menindasku, tapi malam ini mereka tampak sangat aneh terutama Karina”

“Karena malam ini purnama dan mereka masih mentah” batin Algeron.

***
PROLOG

Algeron melambaikan tangannya pada Charlotte yang tampak tersenyum bahagia. Dia mengangguk perlahan pada Edwin yang berpamitan pada Charlotte.

“Hati – hati, aku akan memasak sup jamur untuk makan malam. Cepat pulang” teriak Charlotte.

Algeron dan Edwin lalu meninggalkan Charlotte. Di dalam mobil, Edwin tersenyum menatap sebilah pisau bermata tumpul yang terbungkus rapi oleh selembar kain sutera cokelat. Tangannya mengelus pisau tersebut dengan perasaan bahagia.

“Kita beruntung, ke tiga saudari Louis yang tersisa tidak menceritakan semuanya pada Charlotte” kata Algeron sambil terus memperhatikan jalan yang membentang dihadapannya.

Edwin mengangguk dan tersenyum sinis. Pikirannya memutar perlahan, membuka sisa memori kehidupannya. Dia masih mengingat dengan jelas wajah ke dua orang tuanya yang terkoyak. Awalnya dia tidak mempercayai semua cerita Algeron mengenai tradisi dan hal bodoh yang telah terjadi pada keluarganya dan keluarga Louis. Namun, kematian orang tuanya, membuatnya sadar bahwa selama ini dia telah salah menilai keluarga tersebut.

“Kita sampai” bisik Algeron.

Edwin dan Algeron mengendap diantara pepohonan yang tampak enggan menampakkan kemilau zamrud. Suasana rumah megah serta peternakan dihadapan mereka tampak sunyi senyap.

“Mereka tidak kuat menghadapi malam – malam berat seperti ini” batin Edwin.

Merasa keadaan sekitar cukup mendukung niat mereka, Edwin dan Algeron pun mempercepat langkah mereka ke dalam rumah megah tersebut. Mata Edwin yang tajam dengan sigap mulai menyesuaikan keadaan di dalam rumah yang tampak gelap. Algeron memberikan isyarat pada Edwin untuk berpencar. Edwin mengangguk dan mengendap menuju ruang makan. Dari jarak 5 meter dia bisa mencium bau darah yang sangat amis. Matanya semakin di tajamkan sementara giginya mulai tampak meruncing.

“Edwin”

Algeron dengan cepat memegang tangan Edwin yang tampak mulai mengeras dan berbulu. Dia menggeleng dan menarik Edwin ke ruang bawah tanah.

“Kita harus cepat mencari Charlotte” suara Rowinda terdengar samar – samar.

Edwin memantapkan kakinya dibalik sebuah tiang beton. Dia melihat dengan seksama ke arah tiga wanita yang memakai dress hitam pekat dengan tudung kepala. Diantara temaran cahaya bulan, dia dapat melihat wajah Karina, Miranda, dan Rowinda dibalik tudung itu. Kini, tatapannya terarah pada seorang wanita muda berbaju pelayan yang terbaring di atas sebuah meja batu. Tubuh gadis itu tampak terkoyak dan berlumuran darah.

Edwin meremas ke dua tangannya, dia merasa sangat marah. Algeron yang melihat hal tersebut mencoba menahan Edwin, namun hentakan keras dari tangan Edwin membuatnya terpental.

Edwin melompat dengan beringas ke arah tiga wanita tersebut dan mulai mengeluarkan cakarnya. Semenit kemudian, napas kehidupan ke tiga wanita tersebut telah lenyap.

“Kau hampir saja merusak segalanya. Mereka harus ditusuk” kata Algeron sambil menusukkan pisau bermata tumpul pada tubuh Karina.

“Satu lagi keluarga Louis yang tersisa dan siap menghadapi pembalasan” kata Edwin.

“Dia istrimu” Algeron tampak menyela.

“Tapi ini tradisi”


TO BE CONTINUE





Read another story, just click the label at the right --->

Label:

XOXO;
19.16

profile

Hello, I'm Fee [read : Fe], an ordinary girl in extraordinary life :) I currently move to my sunny blog
Click it





Friends

  • Wind starshinee
  • Eka-Penyair Timur
  • Qchan
  • Inna
  • Inchen
  • Selly
  • Flow
  • Lady Queela
  • Ifa
  • Intan
  • Gabaritangles
  • Presticilla
  • Qonita
  • Death-a
  • Shafira Noor Latifah
  • Aul
  • Indy


    Favourite

    I almost see and keep reading to this great blogs :)
  • Anak Perempuan dan Ayahnya
  • Perempuan Sore
  • Lala Bohang [writing]
  • Lala Bohang [drawing]
  • Hana Tajima Simpson
  • Raditya Dika
  • Richard
  • Damarisasi-7th July accoustic
  • 30Hari Menulis Surat Cinta


    credits

    picture design: deviant art
    skin: camisado
    brushes: echoica